Belajar dari kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah atau guru kepada siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kasus ini kemudian viral di media sosial dan mengundang komentar pedas dari para netizen. Komentar pedas yang disampaikan disebabkan karena geram dengan orang tua siswa yang telah melaporan kasus penamparan tersebut ke pihak berwajib. Netizen menganggap apa yang dilakukan orang tua dan siswa yang kedapatan merokok di lingkugan sekolah dianggap berlebihan.
Dari komentar-komentar yang saya baca dari beberapa video yang beredar, termasuk dari vidoe yang saya buat, saya mengambil kesimpulan ternyata masih banyak masyarakat yang belum paham tentang peraturan perundang-undangan atau aturan hukum tentang anak. Sebagai seorang penyuluh hukum tentu saya mempunyai kewajiban untuk memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat, tentu dengan menyampaikan aturan hukum yang ada, khususnya tentang anak. Disini saya tidak berpihak kepada siapapun. Saya menganggap kesalahan kepala sekolah dalam kasus ini adalah perbuatannya, yaitu menampar. Sedangkan kesalahan siswa adalah merokok di lingkungan sekolah. Tentu masing-masing mempunyai konsekwensi hukum atas perbuatan yang dilakukan, dan ini sudah saya sampaikan pada video-video saya sebelumnya.
Pada video-video yang telah saya sampaikan, terutama di akun snack video saya ada yang berkomentar, emang sekeras apa sih tamparannya, emang sampai luka, emang sampai lebam, sampai-sampai dilaporkan ke polisi. Saya sampaikan keras atau tidak tamparan seorang kepala sekolah kepada siswanya, secara aturan tindakan kekerasan itu dilarang, apalagi dilakukan di lingkugan sekolah. Jadi ketika ada kepala sekolah atau guru yang menampar siswanya dengan alasan untuk mendidik siswa, berdasarkan peraturan ini tentu dilarang dan dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Perlu diingat peraturan ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak. Saya tidak berpihak kepada siapapun, disini saya hanya menyampaikan aturan hukumnya saja, walaupun pada dasarnya permasalahan seperti ini tidak harus selalu diselesaikan melalu jalur hukum, akan tetapi bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Berikut saya sampaikan peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan anak dari tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psiskis, kejahatan seksual, dan/atau penelantaran. Undang-Undang Sebagaimana Yang Saya Maksud Yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Udangan Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Sebagaimana Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Jadi saat ini jangan lagi menyamakan cara mendidik dahulu dengan mendidik jaman sekarang, jika ada masyarakat yang mengatakan, kalau dulu saya waktu sekolah di tampar guru, dilempar penghapus, di pukul dengan penggaris, saya tidak mengadu kepada orang tua, kalau mengadu justru malah dimarahi atau malah ditambah lagi hukumannya.
Saat ini dengan adanya undang-undang perlindungan anak, kekerasan terhadap anak tidak boleh dilakukan, karena aturannya sudah jelas. Suka tidak suka, mau tidak mau setiap orang harus patuh terhadap aturan hukum yang ada. Jika tetap melakukan kekerasan terhadap anak apapun alasannya, konsekwensi hukumnya sudah jelas. Ingat sudah banyak anak yang menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat, di lingkungan sekolah, bahkan terjadi juga di lingkungan pesantren. Kemudian tidak jarang pelaku kekerasan sendiri adalah orang-orang terdekat anak, seperti dilakukan oleh orang tuanya sendiri, atau dilakukan oleh pengasuhnya, dilakukan oleh oknum guru/pendidik, dilakukan oleh oknum ustad, dilakukan oleh oknum pengasuh pondok pesanten, dan lain-lain. Intinya undang-undang perlindungan anak hadir sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap perlindungan anak dari tindak kekerasan.
Kemudian seperti yang pernah saya sampaikan pada video-video saya sebelumnya, bahwa kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja, contohnya di dalam di lingkungan sekolah, kekerasan dilakukan oleh guru kepada siswanya, siswa melakukan kekerasan terhadap gurunya, siswa melakukan kekerasan terhadap siswa lainnya, atau yang disebut bullying. Nah ketika anak melakukan kekerasan terhadap gurunya, siswa melakukan kekerasan atau bullying terhadap temannya atau siswa lainnya, maka siswa yang melakukan kekerasan terhadap gurunya, atau siswa melakuan kekerasan terhadap siswa lainnya. Maka proses hukumnya berbeda dengan orang dewasa.
Proses hukum siswa atau anak yang melakukan kekerasan terhadap gurunya, atau melakukan kekerasan atau bullying terhadap temannya atau terhadap siswa lainnya, atau anak mela melakukan tindak pidana lain, seperti mencuri, tawuran, maka proses hukumnya menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem peradilan anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Undang-undang ini diantaranya mengatur tentang hak anak dalam proses maupun dalam menjalani pidana, mengatur tentang penangkapan dan penahanan anak, selain itu mengatur tentang diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi sendiri bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Jadi ketika anak berhadapan dengan hukum maka pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Syarat diversi bisa dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Adapun pendekatan yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Jadi ketika ada anak yang berhadapan dengan hukum, baik anak sebagai pelaku tindak pidana, anak menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, maka proses hukumnya menggunakan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana.
Contohnya ada anak atau siswa yang membully temannya, dengan cara menampar, memukul, menendang, atau ada anak atau siswa yang ikut tawuran, dan kemudian menyebabkan orang lain luka-luka, maka secara khusus sanksi hukumnya menggunakan undang-undang tentang perlindungan anak, dan proses hukumnya menggunakan undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak.
Semoga bermanfaat,
Alih Usman (Bang Ali)
Penyuluh Hukum