Tindak kekerasan seksual, seperti perbuatan cabul ini, memang sampai saat ini masih terjadi, pada awal tahun 2025 ini saja, selain terjadi di daerah tasik jawa barat, juga terjadi di pondok pesantren Ad Diniyah Pondok Kelapa Duren Sawit Jakarta timur, dimana kasus yang terjadi yaitu pemilik pondok pesantren diduga melaukan pelecehan seksual kepada santrinya. Dari informasi yang saya baca pada media online antaranews.com, kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik pondok pesantren tersebut yaitu berupa sodomi. Kemudian terjadi juga di salah satu pondok pesantren di kecamatan pringgarata Lombok tengah Nusa Tenggara Barat. Dimana oknum pimpinan pondok pesantren diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 3 orang santriwatinya.
Dari beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh seorang oknum pimpinan pondok pesantren, tentulah sudah sangat memprihatinkan, sangat disayangkan, dan sungguh memalukan, dan kata yang pantas untuk pelaku adalah biadab, setan berkodok kyai, setan berkedok ustadz. Mengapa saya katakan demikian karena perbuatannya telah mencoreng dunia pendidikan, khususnya pondok pesantren.
Kita tahu bahwa pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan agama islam tempat mendidik, tempat para santri yang ingin memperdalam ilmu agama islam, agar menjadi santri berakhlak, dan memiliki keimanan yang kuat sehingga diharapkan pendidikan agama yang diperoleh melalui pondok pesantren diharapkan dapat menjadi landasan dan pegangan hidup seseorang dalam beragama maupun bermasyarakat.
Kita hanya berharap kekerasan seksual terhadap anak tidak terulang lagi, apalagi di dilakukan di dalam lingkungan pondok pesantren yang merupakan tempat mencetak generasi muda islami, berkarakter, berakhlak, dan beriman. Oleh karena itu aparat penegak hukum hendaknya betul-betul menerapkan aturan-aturan hukum yang ada dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya, atau hukuman yang maksimal terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, apalagi ini dilakukan oleh seorang pendidik, seorang pimpinan pondok pesantren, yang seharus memberikan perlindungan terhadap anak, bukan sebaliknya menjadi penjahat, menjadi setan berkedok ustadz atau kiyai.
Sanksi bagi oknum pimpinan pondok pesantren yang melakukan kekerasan seksual terhadap santrinya, secara khusus dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini sudah dua kali perubahan, dan pada perubahan kedua lebih kepada pemberatan sanksi atau hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang salah satunya yaitu hukuman atau sanksi berupa penambahan hukuman menjadi sepertiga dari ancaman pidana, kemudian pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Kemudian juga ada sanksi berupa pengumuman identitas pelaku, jadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak identitasnya akan dibuka di publik, akan diumumkan pelakunya, kemudian ada sanksi tindakan berupa, hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Jadi pengenaan sanksi atau hukuman bagi oknum pimpinan pondok pesantren yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, diberikan berdasarkan jenis perbuatan yang dilakukannya.
Jika oknum pimpinan pondok pesantren yang melakukan kekerasan seksual berupa pencabulan terhadap anak atau santrinya, maka sanksinya yaitu pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Kemudian karena perbuatan cabul dilakukan oleh oknum pimpinan pondok pesantren, yang merupakan seorang pendidik, atau tenaga kependidikan, dan kemudian korbannya lebih dari satu, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana. Jika pelaku diancam dengan pidana 15 (lima belas) tahun, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) menjadi 20 (dua puluh) tahun. selain itu pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Selain itu sanksi Tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. Dengan adanya pemberatan sanksi ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan dapat mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini tentu juga harus ada upaya dari para penegak hukum khususnya agar betul-betul menerapkan sanksi terberat bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Sanksi bagi pelaku kekerasan seksual berupa pencabulan yang dilakukan oleh oknum pimpinan pondok pesantren sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi, tercantum di dalam Pasal 82, Pasal 82A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Semoga dari kasus yang terjadi ini menjadi pelajaran untuk kita semua, baik sebagai orang tua, pendidik, tenaga kependidikan, yang ada di lingkungan pondok pesantren agar sama-sama melakukan pengawasan, para penegak hukum juga hendaknya dapat memberikan hukuman yang maksimal bagi para pelaku kekersan seksual. Hal ini tentu agar kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan atau pondok pesantren tidak terjadi lagi. Selain itu kepada aparat penegak hukum mudah-mudahan bisa memberikan rasa keadilan terhadap korban agar pelaku pencabulan terhadap anak atau terhadap santri betul-betul diberikan hukuman yang setimpal dan hukuman yang seberat-beratnya agar menjadi efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual, Sehingga masyarakat, kehidupan pribadi para santri, dan tumbuh kembang santri dalam lingkungan pondok pesantren menjadi aman, nyaman, dan tentram.
Alih Usman (Bang Ali)
Penyuluh Hukum