Baru-baru ini terjadi lagi kekerasan di dalam lingkungan satuan pendidikan, dan kali ini korbannya adalah seorang guru. Terjadinya pemukulan oleh siswa terhadap gurunya, tentu membuat kita prihatin, dan tentu menimbulkan banyak tanda tanya, kenapa seorang siswa berani melakukan kekerasan terhadap gurunya sendiri, dimana sopan santunnya, dimana rasa hormatnya, dimana akhlaknya.
Apapun alasannya pemukulan yang dilakukan siswa terhadap gurunya tidak dibenarkan, dan ini mencerminkan rendahnya pendidikan moral siswa itu sendiri. Selain itu peristiwa seperti ini hendaknya menjadi bahan evaluasi pihak-pihak terkait seperti pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan, satuan pendidikan, dan orang tua siswa.
Pada dasarnya setiap orang dalam satuan pendidikan mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Secara umum siswa yang melakukan kekerasan bisa dituntut berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam kitab undang-undang hukum pidana. Namun yang menjadi catatan adalah ketika anak berhadapan dengan hukum, dalam hal ini siswa sebagai pelaku pemukulan, maka proses hukumnya berbeda dengan orang dewasa. Proses hukumnya menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kasus ini anak melakukan pemukulan terhadap gurunya sendiri, dan akibat dari pemukulan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melaksanakan pekerjaan. Kemudian anak dituntut atau diancam dengan pasal penganiayaan ringan, seperti pada pasal 352 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus ribu rupiah). Jika dikonversi dendanya menjadi Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah). Terhadap anak dengan sanksi sebagaimana tersebut, maka proses hukumnya menggunakan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana salah satu substansi dari undang-undang tersebut adalah mengatur tentang diversi.
Diversi ini adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Mengamanatkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupakan diversi. Diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana pejara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa kasus pemukulan yang dilakukan siswa terhad gurunya sendiri bisa dilakukan melalui upaya diversi, dengan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Selain itu tujuan dilakukan diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.
Pada dasarnya ketika terjadi kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, baik pencegahan dan penanganannya secara khusus sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Ketika ada aturan khusus maka penanganan kasus kekerasan ini tentu berpedoman pada permendikbudristek tersebut yang salah satunya mengatur tugas dan fungsi dibentuknya satuan tugas dan tim pencegahan dan penanganan kekerasan dalam satuan pendidikan.
Bicara tentang kekerasan dalam satuan pendidikan, dalam pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan kekerasan adalah adalah setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.
Pada pasal 2 ayat (1) huruf a dikatakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk melindungi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Pada pasal 2 ayat (1) huruf b dikatakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk: mencegah peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya, melakukan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; kemudian pada pasal 2 ayat (1) huruf c yaitu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk: melindungi dan mencegah setiap orang dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Kemudian Apa Sanksi Bagi Anak Atau Siswa Yang Melakukan Kekerasan Terhadap Gurunya??
Seperti yang telah saya sampaikan di awal bahwa pada dasarnya secara umum bisa dikenakan sanksi berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana, tentu berdasarkan perbuatan dan akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan, dan secara khusus bisa dikenakan sanksi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sanksi yang diberikan kepada siswa yang melakukan pemukulan terhadap gurunya yaitu berupa sanksi administratif, dengan tingkatan sanksi,yaitu sanksi administratif ringan, sanksi administratif sedang, dan sanksi administratif berat.
Pengenaan tingkatan sanksi administratif berprinsip pada ; sanksi bersifat mendidik, tetap memenuhi hak pendidikan peserta didik, melindungi kondisi psikis peserta didik, membangun rasa bertanggung jawab peserta didik, dan berpedoman pada ketentuan mengenai perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini tercantum di dalam pasal 57 permendibudristek nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Kemudian pada pasal 60 Permendibudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sanksi administratif ringan berupa teguran, sanksi administratif sedang berupa tindakan yang bersifat edukatif yang harus dilakukan dalam kurun waktu minimal selama 5 (lima) hari sekolah dan maksimal selama 10 (sepuluh) hari sekolah. Sedangkan sanksi administratif berat yaitu berupa pemindahan peserta didik ke satuan pendidikan lain.
Pengenaan sanksi administratif berat ini merupakan upaya terakhir yang hanya dilakukan apabila ; tindakan yang dilakukan oleh peserta didik atau siswa mengakibatkan korban mengalami ; luka fisik berat; kerusakan fisik permanen, kematian, dan/atau trauma psikologis berat; dan terdapat rekomendasi dari satuan tugas dan/atau dinas pendidikan.
Pada dasarnya ketika terjadi kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, seperti siswa melakukan kekerasan terhadap gurunya, menyerang dengan cara memukul, atau menendang, maka secara khusus proses penanganannya atau proses penyelesaian perkaranya menggunakan ketentuan Permendibudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dalam peraturan ini salah satu prinsip upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan adalah prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Ini artinya segala keputusan dan tindakan yang mempengaruhi anak harus memprioritaskan kesejahteraan, keselamatan, dan perkembangan anak, tidak hanya melihat satu aspek, melainkan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesehatan fisik anak, dan mental anak, pendidikan lingkungan sosial, hubungan keluarga, serta pandangan dan aspirasi anak itu sendiri.
Semoga Bermanfaat,
Alih Usman (Bang Ali)
Penyuluh Hukum