ALASAN PEMBERAT PIDANA DALAM KUHP BARU

 

https://youtu.be/qYg4fbtWBcU

Setiap tindak pidana memuat ketentuan sanksi minimum dan sanksi maksimum yang menjadi dasar dan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara adil. Ketentuan maksimum sanksi pidana ditentukan pada masing-masing tindak pidana, sedangkan ketentuan minimum sanksi pidana dapat ditentukan secara umum atau secara khusus. Ketentuan Pasal 68 ayat (2) KUHP baru yang menentukan paling singkat 1 hari untuk pidana penjara, atau Pasal 78 ayat (2) KUHP baru pidana denda ditetapkan paling sedikit Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) merupakan bentuk sanksi minimum yang umum. Ketentuan minimum umum itu berlaku bagi semua tindak pidana secara umum, sedangkan ketentuan minimum khusus hanya dikenakan terhadap tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh pembentuk uu.

Isi Pasal 68 ayat (2) KUHP baru atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menyatakan pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus. Pada Pasal 78 ayat (2) KUHP baru, menyatakan jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dengan adanya maksimum sanksi pidana pada masing-masing delik tersebut, pada asasnya hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melampaui maksimum pidana yang telah ditetapkan. Namun demikian, adakalanya maksimum sanksi pidana yang ditentukan pada masing-masing tindak pidana itu dipandang belum cukup adil oleh hakim sehubungan dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim berpandangan bahwa terdakwa harus dipidana lebih berat dari maksimum pidana yang ditentukan di dalam uu, sehingga diperlukan pemberatan pidana.   Alasan pemberat pidana, adalah keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang oleh pembentuk uu ditetapkan sebagai keadaan yang dapat memperberat pidana. Alasan pemberat pidana itu bersifat umum, berlaku bagi semua tindak pidana, adapun alasan pemberat pidana yang dimaksudkan ditentukan di dalam Pasal 58 KUHP baru yang menyatakan:

Faktor yang memperberat pidana meliputi : pertama pada Pasal 58 huruf a menyatakan pejabat yang melakukan tindak pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; pejabat adalah orang yang mengemban suatu jabatan, dan kemudian melakukan tindak pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan. Dalam pasal 154 KUHP baru, menyatakan pejabat adalah setiap warga negara indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

  • Aparatur sipil negara, anggota kepolisian negara republik indonesia, dan anggota tentara nasional indonesia;
  • Pejabat negara;
  • Pejabat publik;
  • Pejabat daerah;
  • Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
  • Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang selumh atau sebagran besar modalnya milik negara atau daerah; atau
  • Pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan pasal 154 KUHP baru tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pejabat tidak selalu harus berstatus sebagai pegawai negeri, karena meliputi juga orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, atau menerima gaji atau upah dari korporasi yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, atau ditentukan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Seorang anggota dpr/dprd, komisaris atau direksi bumn atau bumd sekalipun tidak bertatus sebagai pegawai negeri adalah seorang pejabat karena menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, demikianpun pegawai-pegawai kontrak yang bekerja di instansi pemerintah/publik sepanjang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah adalah seorang pejabat.

Seseorang yang mememiliki suatu jabatan atau kedudukan dalam jabatan publik atau pemerintahan mempunyai kewenangan atau hak untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan tertentu dalam hal dan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Kepemilikan kewenangan atau hak untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan tertentu sering ditimbulkan oleh suatu ketentuan hukum atau karena suatu kebiasaan. Apabila kewenangan ini digunakan secara menyimpang/salah maka perbuatan ini disebut dengan istilah menyalahgunakan kewenangan. Jadi menyalahgunakan kewenangan itu dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi ia telah melakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah serta bertentangan dengan hukum atau kepatutan yang biasanya berlaku (hukum kebiasaan).

Kemudian faktor alasan pemberat pidana yang kedua, yang tercantum di dalam pasal 58 huruf b yaitu ; penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; pemberatan pidana bagi penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia dalam melakukan tindak pidana didasarkan pada pemikiran bahwa bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi symbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dasar negara republik indonesia 1945.

Selain itu bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau Lambang Negara Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara kesatuan republik indonesia. Artinya, secara konstitusional di dalam bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia tersebut terkandung nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh segenap warga bangsa, sedangkan tindak pidana selalu merupakan perbuatan tercela dan bersifat melawan hukum.

Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia dalam melakukan tindak pidana dipandang sebagai perbuatan tercela dan mencemari nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara indonesia dalam melakukan tindak pidana dipandang sebagai perbuatan yang merendahkan kedaulatan dan kehormatan negara yang karenanya pidananya dapat diperberat 1/3 dari maksimum ancaman pidana. Faktor alasan pemberat pidana yang ketiga, yang tercantum di dalam pasal 58 huruf c yaitu ; pengulangan tindak pidana. Dalam kuhp baru ketentuan pengulangan tindak pidana diatur dalam pasal 23, yaitu : pada ayat (1). Menyatakan, pengulangan tindak pidana terjadi jika setiap orang:

  • Melakukan tindak pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
  • Pada waktu melakukan tindak pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

Pada ayat (2) menyatatan, tindak   pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III. Pada ayat (3) dinyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk tindak pidana mengenai penganiayaan. Sahabat penyuluh perlu diketahu bahwa didalam kuhp baru yang digunakan adalah sistem residiv umum, yaitu setiap pengulangan tindak pidana tanpa memperhatikan tindak pidana apa yang dilakukan, sepanjang tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III, atau tindak pidana penganiayaan.

Pemberatan pidana dalam pasal 58 KUHP baru merupakan pemberatan umum yang berlaku bagi semua tindak pidana tanpa kecuali, baik terhadap tindak pidana yang diatur di dalam buku II KUHP baru, maupun tindak pidana lain yang berada di luar KUHP, sepanjang uu yang mengatur delik tidak menentukan adanya penyimpangan dari buku I KUHP baru. Selain, pemberatan pidana yang berlaku secara umum, juga terdapat pemberatan pidana berdasarkan keadaan khusus, yang hanya berlaku bagi delik tertentu saja. Pemberatan pidana yang bersifat khusus tersebar diperbagai rumusan delik.

Beberapa keadaan yang dipandang sebagai pemberatan yang bersifat khusus itu diantaranya dimuatnya unsur dengan rencana (penganiayaan berencana pasal 467 KUHP baru), dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (pasal 414 KUHP baru), mengakibatkan luka berat atau matinya orang (pasal 416 KUHP baru), dilakukan pada malam hari, (pasal 463 KUHP), tindak pidana dilakukan terhadap orang pingsan atau tidak berdaya, pada saat ada kebakaran, ledakan, bencana alam, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas jalan, huru-hara, pemberontakan, atau perang (pasal 481 KUHP baru), dan lain sebagainya.

Alih Usman (Bang Ali)

Penyuluh Hukum


Cetak   E-mail

Related Articles

KADARKUM

LOMBA KADARKUM BAGIAN 1